KUASA LIDAH
“Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya,
akan memakan buahnya”.
(Amsal 18:21)
Tidak sedikit orang yang berbicara sekehendak hatinya, tanpa
memikirkan dampaknya terhadap perasaan orang lain, terlebih lagi dampaknya
terhadap dirinya sendiri. Banyak istilah yang digunakan dalam bahasa pergaulan
sehari-hari untuk tipe orang seperti ini, misalnya dalam suku betawi disebut
dengan sekate-kate, yang artinya berbicara tanpa dipikir terlebih dahulu.
Ayat bacaan kita diatas dalam Alkitab terjemahan Bahsa
Indonesia Sehari-hari dituliskan sebagai berikut : “Lidah mempunyai kuasa untuk
menyelamatkan hidup atau merusaknya; orang harus menanggung akibat ucapannya.”
Beberapa perkataan yang seringkali terlontar dari lidah yang
tidak dijaga antara lain:
a. Mengutuk (Yakobus 3:9)
b. Mengejek / Mem-bully (2 Taw 36:16; Lukas
23:35; Kis 17:32)
c. Sumpah serapah (Ayub 31:30; Maz 10:7; 59:13;
Rom 3:14)
d. Perkataan dusta (Kel 20:16; 23:7; Ul 5:20;
Yoh 8:44)
Jangan menganggap hal ini sebagai persoalan yang sepele dengan
dalih : “lidah-lidah gue…terserah gue mau ngomong apa, gak ada urusannya sama
loe!” Perkataan lidah kita, bukan hanya harus dipertanggungjawabkan di dunia
ini melainkan juga pada hari penghakiman. Sebagaimana tertulis dalam Matius
12:35-37 “Orang yang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari perbendaharaannya
yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat dari
perbendaharaannya yang jahat. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia
yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman.
Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula
engkau akan dihukum."
Kita harus menjaga perkataan lidah kita (Yak 3:2-7), sebab
jika kita memperkatakan perkataan yang baik dan perkataan iman, mukjizat dan
perkara ajaib terjadi dalam hidup kita. “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya
barangsiapa berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam
laut! asal tidak bimbang hatinya, tetapi percaya, bahwa apa yang dikatakannya
itu akan terjadi, maka hal itu akan terjadi baginya.” (Markus 11:23)
Bagaimana kita menjaga lidah kita agar kita bisa “memakan buah
yang baik” dari perkataan kita?
1. Berdoa minta pertolongan TUHAN
“Awasilah mulutku, ya TUHAN,
berjagalah pada pintu bibirku!” (Mazmur 141:3)
Tanpa pertolongan TUHAN dalam hal
ini Roh Kudus, akan sangat sulit bagi kita untuk menjaga lidah kita. untuk itu
kita perlu meminta pertolongan, kekuatan dari TUHAN untuk melakukannya, membuat
kita lebih mawas diri dan berhikmat dengan perkataan kita.
2. Jangan terburu-buru/terlalu cepat untuk
berkata-kata
“Janganlah terburu-buru dengan
mulutmu, dan janganlah hatimu lekas-lekas mengeluarkan perkataan di hadapan
Allah, karena Allah ada di sorga dan engkau di bumi;...” (Pengkh 5:1)
“Hai saudara-saudara yang
kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar,
tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah;” (Yak 1:19)
Kecenderungan manusia memang
ingin didengarkan, sebab tanpa sadar nilai yang berkembang diantara masyarakat
adalah mereka yang berbicara (yang didengarkan) lebih superior daripada yang
mendengarkan, sedangkan Firman Tuhan justru mengarahkan kita untuk lebih cepat
mendengar daripada berkata-kata. Maksudnya, simak dulu baik-baik perkataan
orang lain, cermati secara mendalam agar kita bisa merespon dengan baik dan
bijak, dengan demikian komunikasi akan menjadi efektif dan menghindari diri
dari perselisihan akibat perkataan sia-sia yang terlalu cepat terlontar dari
mulut.
3. Jangan terlalu banyak berkata-kata (yang
sia-sia)
“Karena sebagaimana mimpi
disebabkan oleh banyak kesibukan, demikian pula percakapan bodoh disebabkan
oleh banyak perkataan.” (Pengkh 5:2)
Sedikit namum efektif, lebih baik
dari pada banyak perkataan namun tidak efisien. Belajarlah untuk memperhatikan
kualitas percakapan kita. kualitas perkataan yang baik belum tentu datang dari
kuantitas percakapan atau banyaknya kata-kata yang diucapkan lidah kita.
jangan-jangan justru dengan banyak berkata-kata, kita malah menjadi pribadi
yang kurang menyenangkan dan membosankan, yang ujung-ujungnya bermuara pada
perselisihan atau pertikaian.
4. Belajar mengekang lidah
“Jikalau ada seorang menganggap
dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri,
maka sia-sialah ibadahnya.” (Yak 1:26)
Dalam konteks surat ini
(Yakobus), kata “mengekang” diibaratkan seperti mengenakan “kekang” pada kuda
(Yak 3:3) dengan tujuan agar kita dapat mengendalikan seluruh tubuhnya, sama
seperti halnya kemudi kapal ditangan pengemudi yang dapat mengarahkan kemana
dia kehendaki. Demikian juga kita harus belajar “mengekang” atau dengan kata
lain memberikan batasan-batasan pada lidah kita sehingga kita dapat
mengendalikan, bukan hanya perkataan kita tapi juga “buah apa yang kita makan”
sebagai dampak dari perkataan kita. (DL).